Rabu, 17 Desember 2014

Pandangan Fiqih Terhadap Zakat Penghasilan dan Profesi



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat  kecekatan  tangan  ataupun  otak. Penghasilan yang diperoleh  dengan  cara  ini  merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor, insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu  dan lain-lainnya. Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang untuk pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun  kedua-  duanya.  Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.[1] Wajibkah kedua macam penghasilan yang berkembang sekarang itu dikeluarkan zakatnya ataukah tidak?  Bila wajib, berapakah nisabnya, besar zakatnya, dan bagaimana tinjauan fikih Islam tentang masalah itu?.
Dari pernyataan tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang permasalahan ini, sehingga penulis mengambil judul “Pandangan Fiqih Terhadap Zakat Penghasilan dan Profesi”


B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pandangan fiqih dan para ulama pada zaman dulu tentang zakat penghasilan dan profesi?
2.      Bagaimana nisab zakat tersebut dan cara menetapkannya?
3.      Berapa besar zakat yang harus dikeluarkan?

C.      Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian dengan tujuan:
1.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan fiqih dan para ulama pada zaman dulu tentang zakat penghasilan dan profesi.
2.      Untuk mengetahui nisab zakat tersebut dan cara menetapkannya.
3.      Untuk mengetahui besar zakat yang harus dikeluarkan.

D.  Definisi Operasional
Untuk mempermudah dalam penelitian ini, maka penulis akan mengemukakan beberapa definisi operasional, sebagai berikut:
1.      Ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam.
2.      Fiqih adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk ibadah maupun muamalah.
3.      Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan usaha yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

BAB II
LANDASAN TEORI

A.      Zakat Penghasilan dan Profesi
1.      Pengertian
Zakat menurut bahasa artinya suci dan subur. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah mengeluarkan sebagian harta benda atas perintah Allah, sebagai shadaqah wajib kepada mereka yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Secara harfiah zakat berarti tumbuh, berkembang, menyucikan, atau membersihkan. Sedangkan secara terminologi, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana ditentukan.[2]
Secara umum zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang), relatif banyak dengan cara yang halal dan mudah, baik melalui keahlian tertentu maupun tidak. Sedangkan menurut Zamzami Ahmad, zakat profesi adalah zakat penghasilan yang didapati dan diterima dengan jalan yang halal dalam bentuk upah, honor ataupun gaji.[3]
2.      Orang-orang yang berhak menerima zakat
-          Fakir yaitu orang yaang tidak mempunyai harta atau usaha yang dapat menjamin 50% kebutuhan hidupnya untuk sehari-hari.
-          Miskin yaitu orang yang mempunyai harta dan usaha yang dapat menghasilkan lebih dari 50% untuk kebutuhan hidupnya tetapi tidak mencukupi.
-          ’Amil yaitu panitia zakat yang dapat dipercayakan untuk mengumpulkan dan membagi-bagikannya kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan hukum Islam.
-          Muallaf yaitu orang yang baru masuk Islam dan belum kuat imannya dan jiwanya perlu dibina agar bertambah kuat imannya supaya dapat meneruskan imannya.
-          Hamba sahaya yaitu yang mempunyai perjanjian akan dimerdekakan oleh tuan nya dengan jalan menebus dirinya.
-          Gharimin yaitu orang yang berhutang untuksesuatu kepentingan yanng bukan maksiat dan ia tidak sanggup untuk melunasinya 
-          Sabilillah yaitu orang yang berjuang dengan suka rela untuk menegakkan agama Allah .
-          Musafir yaitu orang yang kekurangan perbekalan dalam perjalanan dengan maksud baik, seperti menuntut ilmu, menyiarkan agama dan sebagainya.

B.       Pendapat Ulama Fiqih
Jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan  Muhammad  bahwa  nisab zakat tidak perlu harus tercapai sepanjang  tahun, tapi cukup tercapai penuh  antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengahnya. Dari penafsiran tersebut dapat kita simpulkan bahwa wajib mengeluarkan zakat atas hasil  penghasilan itu setiap tahunnya. Berdasarkan hal itu, kita dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat karena terdapatnya illat (penyebab) yang menurut ulama-ulama fiqih sah dan nisab yang merupakan landasan wajib zakat.
Dan karena Islam mempunyai ukuran dalam mengeluarkan zakat bagi seorang yang dianggap kaya yaitu sebesar 12 junaih emas menurut ukuran junaih Mesir lama. Sehingga ukuran itu harus terpenuhi untuk seseorang dikategorikan berkewajiban membayar zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang  kaya  yang  wajib  zakat  dan  orang miskin penerima zakat.
Dalam hal ini, Mazhab Hanafi mengatakan bahwa jumlah nisab zakat itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan  profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong  miskin, karena seorang pekerja profesi jarang memenuhi kewajiban ketentuan zakat tersebut. Mengenai besar zakat, menurut Mazhab Hanafi bahwa penghasilan dan profesi belum ditemukan contohnya dalam fiqih.
Menurut Akhmad, masalah nisab zakat tergantung hasil uang yang kita peroleh, misalnya Ani menyewakan rumahnya kepada orang lain sehingga dia mendapatkan uang sewa dan uang sewa yang diterima tersebut sudah cukup nisab. Maka Ani tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerima uang tersebut tanpa menunggu waktu setahun untuk mengeluarkan zakat. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab.
Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup  pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun.[4]



DAFTAR PUSTAKA


Buku:
Satria Effendi, Ushul Fiqh. Jakarta, Prenada Media, 2005.
Suyitno, Heri Junaidi, Anatomi Fiqh Zakat. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

Artikel:


[1] Suyitno, Heri Junaidi, Anatomi Fiqh Zakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 48
[2] Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 5
[3] Suyitno, Heri Junaidi, Op. Cit., hal.50