Minggu, 23 November 2014

PENGHAPUSAN PIDANA



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Alasan penghapus pidana merupakan keadaan khusus (yang harus dikemukakan tetapi tidak dibuktikan oleh terdakwa) yang jika dipenuhi menyebabkan meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi dan dijatuhi pidana. KUHP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan alasan penghapus pidana dan perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf. KUHP hanya menyebutkan hal-hal yang dapat menghapuskan pidana saja. Pembahasan mengenai hal tersebut berkembang melalui doktrin dan yurispridensi.
Dalam hukum pidana seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dapat dipidana bila memenuhi dua hal yaitu  perbuatannya bersifat melawan hukum dan Pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan (adanya kesalahan pelaku) atau perbuatan tersebut dapat dicelakan kepada pelakunya dan tidak ada alasan pemaaf. Dalam ilmu hukum pidana, alasan hukum pidana dibedakan dalam alasan penghapus pidana umum dan disebut dalam pasal 44, 48-51 KUHP, dan alasan penghapus pidana khusus. Teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi alasan pembenar, alasan Pemaaf, dan alasan Penghapus Penuntutan.
B.  Rumusan Masalah
  1. Apa alasan penghapusan pidana ?
  2. Apa saja alasan hukum pidana ?
  3. Sebutkan jenis-jenis alasan penghapusan ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Alasan Penghapusan Pidana
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Meskipun KUHPidana yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan tetapi KUHPidana sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang alasan penghapus pidana tersebut.[1]

B.  Alasan Hukum Pidana
Alasan-alasan pidana tersebut dalam KUHP termasuk dalam Bab tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana. Dalam ilmu hukum pidana, alasan hukum pidana dibedakan dalam:
1.      Alasan penghapus pidana umum disebut dalam pasal 44, 48-51 KUHP.
2.      Alasan penghapus pidana khusus,  disebut dalam pasal 122, 221 ayat 2, 310 dan 367 ayat 1 KUHP.


C.  Jenis-Jenis Alasan Penghapusan Pidana
              Dalam teori hukum pidana, alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi :
1.      Alasan pembenar (Rechtvaardigingsgronden)
Merupakan suatu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.[2] Alasan Pembenar terdiri atas:
a.       Pembelaan terpaksa (Noodweer)
Pasal 49 ayat (1) KUHP berbunyi : “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak  dipidana”.
Dalam pembelaan darurat (noodweer) dan supaya orang dapat mengatakan dirinya dalam pembelaan darurat menurut bunyi pasal diatas harus dipenuhi tiga macam syarat-syarat sebagai berikut:
·         Perbuatan yang itu harus terpaksa untuk membela dan pembelaan itu harus harus amat perlu,  boleh dikatakan tidak ada jalan lain.
·         Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan.
·         Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam pada ketika itu.
Pada hakekatnya pembelaan terpaksa adalah orang yang melakukan perbuatan dengan menghakimi sendiri (eigen-richting), akan  tetapi dalam  batas tertentu diperkenankan karena semata-mata untuk membela diri terhadap serangan yang dilakukan oleh orang lain, yang dengan demilikian itu tidak dapat diharapkan ada alat negara yang sempat memberikan pertolongan  guna mencegah kejahatan dan oleh sebab itu diperkenankan berbuat membela diri.
Pembelaaan terpaksa harus dikerjakan oleh keadaan yang terpaksa “noodzakelijke verdediging” dalam arti yang tidak terlampau  luas dan tidak pula disempitkan.
b.      Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang (Wettlijkvoorchrift)
Bertindak untuk melaksanakan ketentuan undang-undang menurut pasal 50 KUHP tidak dipidana.didalam pasal 50 KUHP berbunyi: ” barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang – undang, tidak dipidana “.
c.       Melaksanakan Perintah dari pihak atasan  (Ambtelijk Bevel)
Dalam pasal 51 ayat 1 KUHP berbunyi : “Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu,  tidak boleh dihukum”. Melaksanakan perintah jabatan hubungan antara perintah jabatan dan dengan pihak yang diperintah harus mempunyai hubungan hukum yang bersifat berlaku umum, baik menurut isinya maupun peraturan itu sendiri.[3]
2.      Alasan pemaaf (Schulduitsluitingsgronden)
Merupakan suatu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana,tetapi dia tidak dipidana kerena tidak ada kesalahan.[4]
Jenis Alasan Pemaaf terdiri atas:
a.       Pembelaan melampaui batas (Noodweerexces)
Pasal 49 ayat (2) KUHP berbunyi : “orang yang melampaui batas pembelaan yang perlu jika perbuatan tersebut dilakukannya karena sangat panas hatinya disebabkan oleh serang itu, tidak dipidana”. yang dimaksud dengan melampaui  pembelaan yang perlu ialah tidak seimbang antara pembelaan yang diberikan dengan akibat yang timbul. Hal ini disebabkan antara lain alat yang digunakan untuk membela diri tidak seimbang dengan alat yang digunakan lawannya. (misalnya; mempergunakan sepotong besi sedangkan lawannya rotan). Pembelaan melampaui batas (Noodweer exces) adalah suatu alasan pemaaf (schulduitluitingsgrond) karena perbuatan yang melampaui batas pembelaan itu tetap melawan hukum hanya pembuat yang tidak mempunyai kesalahan.
b.      Perintah yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak wenang
Pasal 51 ayat (2) KUHP berbunyi: “Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiabn pegawai yang dibawah perintah tadi”.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) menerangkan melaksanakan  Perintah yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak wenang tidak dipidana, asalkan oleh pembuat yang melaksanakan perintah jabatan itu dipenuhi syarat:
·         Secara subyektif yang diperintah itu tegoedertrouw yaitu dalam batin yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah itu tidak sah, jadi ada salah kira dari pihak yang diperintah dan,
·         Secara obyektif adalah masuk akal karena perintah jabatan yang tidak sah itu masih dalam lingkungan pekerjaannya.
c.       Tak mampu bertanggung jawab
Pasal 44 ayat (1) KUHP berbunyi  : ”barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya  (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana”.
Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna dapat terjadi pada saat kelahiran seperti imbisil (keadaan bodoh) dan idiot (keadaan gila), juga dapat terjadi pada pertumbuhan badan yang tidak sesuai dengan pertumbuhan jiwa yang seharusnya seimbang. Sedangkan gangguan jiwa yang disebabkan oleh penyakit, orang tersebut pada mulanya sehat tetapi baru mengalami gangguan jiwa setelah dihinggapi penyakit tertentu misalnya menderita penyakit yang kronis.
d.      Daya paksa atau (overmacht)
Dalam pasal 48 KUHP yang berbunyi”: Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
Menurut para ahli menyebabkan adanya beberapa bentuk daya paksa. pembagian secara  tradisional bentuk-bentuk daya paksa,adalah terdiri atas:
  • Overmacht yang absolute atau physiekedwang (vis absoluta)
  • Overmacht yang relative (vis compulsive)
  • Overmacht dalam arti sempit atau psychische drang
Oleh Jonkers Keadaan darurat (nootoestand) biasanya dikatakan ada tiga kemungkinan yaitu:
·         Pertentangan dua kepentingan hukum.
·         Pertentangan antara dua kewajiban hukum
·         Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum.[5]
3.      Alasan penghapus penuntutan
Alasan penghapusan penuntutan di sini soalnya bukan alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan adalah disini adalah kepentingan umum.Kalau perkaranya tidak ditunut, tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana. Contoh Pasal 53 KUHP, kalu terdakwa dengan sukarela mengurungkan niatnya, percobaan untuk melakukan suatu kejahatan.
Alasan-alasan yang dimuat dalam perundang-undangan untuk hapusnya hak penuntutan adalah:

a.       Adanya suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
Hal ini diatur dalam pasal 76 KUHP yang berbunyi : “kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah,orang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim di Indonesia dengan putusan yang telah tetap”.
Apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap,upaya hukum tidak dapat digunakan lagi. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut,dapat berupa:
·         Putusan bebas
·         Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
·         Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum
·         Putusan pemidanaan
b.      Kematian orang yang melakukan delik
Hal ini diatur dalam pasal 77 KUHP yang berbunyi: “hak menuntut hilang oleh karena meninggalnya  si tersangka.”
c.       Daluwarsa
Hal ini diatur dalam pasal 78 KUHP yang berbunyi: hak untuk penuntutan pidana hapus karena daluwarsa :
·         Dalam satu tahun bagi semua pelanggaran dan bagi kejahatan yang    dilakukan dengan percetakan
·         Dalam enam tahun bagi kejahatan-kejahatan yang diancam dengan denda, hukuman kurungan atau hukuman penjara, yang lamanya tidak lebih dari tiga tahun.
·         Dalam dua belas tahun bagi semua kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara sementara yang lamanya lebih dari tiga tahun
·         Dalam delapan belas tahun bagi semua kejahatan, yang diancam dengan hukuman mati  atau hukuman penjara seumur hidup.
Untuk orang,yang sebelum melakukan perbuatan itu umurnya belum cukup delapan belas tahun,tenggang daluwarsa yang tersebut diatas itu, dikurangi sepertiga.”
d.      Penyelesaian perkara di luar pengadilan
Hal ini diatur dalam pasal 82 ayat 1 KUHP yang berbunyi antara lain sebagai berikut:
“Hak penuntutan pidana kerena pelanggaran,yang atasnya tidak ditentukan hukuman pokok lain daripada denda, hilang kalau dengan rela hati sudah dibayar maksimum denda serta juga biaya perkara.”
Ketentuan diatas secara rasional adalah hal yang logis demi efisiensi.hal ini diatur demikian untuk memberi kepastian hukum bagi pelaku pelanggaran maupun bagi aparat penuntut.[6]















BAB III
PENUTUP

Simpulan :
Alasan penghapusan pidana adalah beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Dalam teori hukum pidana, alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi tiga macam yaitu alasan pembenar (Rechtvaardigingsgronden), alasan pemaaf (Schulduitsluitingsgronden), dan alasan penghapus penuntutan.














DAFTAR PUSTAKA

Anto, Muhammad Ansar, http://tooghi.blogspot.com/2013/05/alasan-penghapusan-pidana.html, di akses pada hari Senin 30 September 2013.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993.
Samidjo, Hukum Pidana, Bandung: CV. Armico, 1985.


[1] Adikanina, http://adikanina1987.wordpress.com/2013/02/28/alasan-penghapus-pidana/ diakses Senin, 30 September 2013, Jam 11:00 Wita
[2] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), h. 137.
[3]  Ibid, h. 144.
[4] Samidjo, Hukum Pidana, (Bandung: CV. Armico, 1985),  h. 124
[5] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, op.cit, h. 144-149.
[6] Muhammad Ansar Anto, http://tooghi.blogspot.com/2013/05/alasan-penghapusan-pidana.html, di akses pada hari Senin 30 September 2013, Jam 09:00 Wita

1 komentar: