Minggu, 23 November 2014

GELAR KEAHLIAN



BAB I
PENDAHULUAN

Hadits ialah semua perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad saw yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.[1] Adapun unsur-unsur pokok hadits ialah sanad, matan dan rawi. Sanad artinya sandaran atau sesuatu yang di jadikan sandaran. Matan ialah materi hadits atau lafal hadits itu sendiri. Sedangkan  rawi adalah orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits.[2] Adapun unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits ialah kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits, kegiatan menyampaikan hadits itu kepada orang lain, dan  ketika hadits itu disampaikan harus menyebutkan rangkaian periwayatnya.[3]
Dan para ulama juga telah memberikan gelar-gelar kepada para Imam ahli hadits, karena keahliannya tentang hadits dan ilmu hadits, serta kemampuannya dalam menghafal dan menguasai hadits-hadits Nabi. Adapun gelar-gelar tersebut ialah Amir al-Mu’minin, Al-Hakim, Al-Hujjah, Al-Hafiz, Al-Muhaddis, dan Al-Musnid. Ke enam gelar tersebut memiliki kriteria masing-masing, sehingga untuk lebih jelasnya tentang gelar-gelar ulama hadits tersebut, baik itu mengenai pengertiannya, orang yang berhak mendapatkan gelar-gelar itu maupun nama-nama orang yang telah mendapatkan gelar-gelar tersebut akan penulis bahas dalam bab selanjutnya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Amir al-Mu’minin
Gelar ini merupakan gelar tertinggi untuk ahli hadits. Pengertian ini semula digunakan untuk para khalifah setelah Abu Bakar as-Siddiq ra.[4] Para khalifah digelari Amir al-Mu’minin ialah mengingat jawaban Nabi atas pertanyaan seorang sahabat tentang: “Siapakah yang dikatakan Khalifah? Nabi menjawab, bahwa khalifah adalah orang-orang sepeninggal Nabi yang sama meriwayatkan hadits-hadits beliau.[5] Kemudian istilah ini diterapkan untuk para ulama hadis yang memenuhi syarat, seolah-olah mereka berfungsi sebagai khalifah, karena sepeninggal Nabi saw. mereka sama meriwayatkan hadits-hadits beliau atau menyampaikan hadits/sunnah beliau.[6]
Ulama hadits yang berhak menerima gelar Amir al-Mu’minin ini jumlahnya tidak banyak, yaitu:[7]
1.      Abdur Rahman bin Abdullah bin Dzakwan Al-Madany (Abuz Zanad)
2.      Syu’bah Ibn Al-Hajjaj.
3.      Sufyan Atsauri.
4.      Ishaq Ibn Rahawaih.
5.      Ahmad Ibn Hambal.
6.      Al-Bukhari.
7.      Ad-Daruquthny.
8.      Imam Muslim.
Dari kalangan ulama hadits mutaakhkhirin yang memperoleh gelar ini adalah:[8]
  1. An-Nawawiy.
  2. Al-Mizziy.
  3. Az-Zahaby.
  4. Ibnu Hajar al-Asqallaniy.

B.       Al-Hakim
Al-Hakim adalah orang yang telah menguasai segala hadits sehingga tidak ada yang ketinggalan kecuali sedikit menurut pendapat bagian ahli ilmu.[9] Al-Hakim yaitu gelar yang dipakai untuk ulama hadits yang menguasai hadits-hadits yang diriwayatkannya, baik dari segi matannya, sifat-sifat periwayatnya (terpuji atau tercela), bahkan untuk setiap periwayat diketahui biografinya, guru-gurunya, sifat-sifatnya, yang dapat diterima atau ditolaknya dan sebagainya. Disamping itu, ia harus menghafal dengan baik lebih dari 300.000 hadits nabi lengkap dengan urutan-urutan sanadnya, seluk beluk periwayatannya dan sebagainya.
Asy-Syahawiy mengemukakan tiga definisi istilah Al-Hakim yang berbeda, yaitu:
1.      Seorang yang menguasai semua hadits yang diriwayatkan, matan, sanad, jarh wa at-ta’dil, biografi periwayat dan lainnya.
2.      Seorang yang menguasai sebagian besar apa yang terdapat pada point satu.
3.      Seorang yang menguasai 700.000 hadits atau lebih serta mengenali sanad-sanadnya.
Di antara ahli hadits yang mendapat gelar ini ialah sebagai berikut:
  1. Ibnu Dinar (w. 162 H.).
  2. Al-Lays bin Sa’d (w. 175 H.).
  3. Imam Malik bi Anas (w. 179 H.).
  4. Imam asy-Syafi’iy.

C.      Al-Hujjah
Gelar ini diberikan kepada ahli hadits yang sanggup menghafal 300.000 hadits, baik sanad, matan, maupun perihal periwayatanya mengenai keadilan dan cacatnya.[10] Asy-Syahwawiy juga mengemukakan definisi yang lebih umum, yaitu bahwa al-Hujjah itu adalah orang yang hafalan haditsnya mumpuni dan mantap serta dapat mengemukakan hadits sebagai argumen kepada orang-orang tertentu dan orang umum.[11]
Ulama hadits yang mendapat gelar ini antara lain yaitu:[12]
1.      Hisyam bin ‘Urwah (w. 146 H.).
2.      Abu al-Huzayl Muhammad bin al-Wahid (w. 149 H.).
3.      Muhammad Abdullah bin ‘Amr (w. 242 H.).

D.      Al-Hafiz
Gelar ini diberikan kepada ahli hadits yang sanggup menghafal 100.000 buah hadits, baik matan, sanad, maupun seluk beluk rawinya serta mampu mengadakan ta’dil dan tajrih terhadap para rawi tersebut.[13] Asy-Syahawiy juga mengemukakan definisi yang lain bahwa al-Hafiz itu adalah orang yang sibuk dengan hadits riwayah dan dirayah serta memahami secara komprehensif para periwayat dan periwayatan hadits pada masanya, mengenali guru-guru para periwayat dan guru-guru dari guru-gurunya itu pengenerasi periwayat. Yang mana pengetahuannya tentang generasi periwayat itu lebih besar dari yang tidak diketahuinya.[14]
Di antara ulama yang memperoleh gelar ini ialah:[15]
1.      Al-Iraqiy.
2.      Syaraf ad-Din ad-Dimyatiy.
3.      Ibnu Hajar al-Asqallaniy.
4.      Ibnu Daqiq al-Id.


E.       Al-Muhaddis
Al-Muhaddis diberikan kepada ahli hadits yang sanggup menghafal 1.000 hadits, baik sanad, matan maupun seluk beluk periwayatnya, jarh dan ta’dil-nya, tingkatan haditsnya, serta memahami hadits-hadits yang termaktub dalam al-Kutub as-Sittah, Musnad Ahmad, Sunan al-Bayhaqiy, Mu’jam at-Tabraniy.
Di antara ulama yang berhak menerima gelar ini ialah:[16]
  1. Ata bin Abi Rabah.
  2. Az-Zabidiy.

F.       Al-Musnid
Gelar ini diberikan kepada ulama ahli hadits yang meriwayatkan hadits beserta sanadnya, baik menguasai ilmunya maupun tidak. Gelar al-Musnid ini biasa juga disebut at-Talib, al-Mubtadi, dan ar-Rawiy. Dengan demikian, maka ukuran pemberian gelar tersebut bukan sekedar didasarkan kepada jumlah hadits yang dihafalkannya sja, tetapi juga diukur dari segi penguasaan dan kemahiran di bidang ‘Ulum al-Hadits.[17]




BAB III
PENUTUP

Simpulan
Para ulama telah memberikan gelar-gelar kepada para Imam Ahli Hadits, karena kemampuan mereka dalam menguasai hadits dan ilmu hadits serta sebagai penghormatan kepada mereka. Adapun gelar para ahli hadits ada enam yaitu:
1.    Amir al-Mu’minin, yaitu gelar tertinggi untuk ahli hadits dan mereka yang memenuhi syarat seolah-olah berfungsi sebagai khalifah yang akan meriwayatkan atau menyampaikan hadits-hadits Nabi.
2.    Al-Hakim, yaitu orang ini harus menghafal dengan baik lebih dari 300.00 hadits Nabi lengkap dengan urutan-urutan sanadnya, seluk beluk periwayatannya dan sebagainya.
3.    Al-Hujjah, yaitu orang ini sanggup menghafal 300.000 hadits, baik sanad, matan maupun perihal periwayatnnya mengenai keadilan dan cacatnya.
4.    Al-Hafiz, yaitu orang ini sanggup menghafal 100.000 hadits, baik sanad, matan, maupun seluk beluk periwayatnya, serta mampu mengadakan ta’dil dan tajrih terhadap para periwayatnya.
5.    Al-Muhaddis, yaitu orang ini sanggup menghafal 1.000 hadits, baik sanad, matan, maupun seluk beluk periwayatnya, jarh dan ta’dil-nya, tingkatan haditsnya serta memahami hadits-hadits yang termaktub.
6.    Al-Musnid, yaitu orang yang menerima gelar ini ulama hadits yang meriwayatkan hadits beserta sanadnya, baik menguasai ilmunya maupun tidak.
DAFTAR PUSTAKA

Asrori, M. Mizan dan Iltizam Syamsuddin, Mustholah Hadits, Surabaya: Al-Ihsan, tt.
Fabbad, Mahmud Ali, Metodologi Penetapan Kesahehan Hadis, Bandung: Pustka Setia, 1998.
Ismail, M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991.
Karim, Abdullah, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005.
Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: Pustka Setia, 1999.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits,Cet. 7,  Bandung: Al-Ma’arif, 1991.


[1]Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustka Setia, 1999), h. 15
[2]Ibid,  h. 61 
[3]Abdullah Karim, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005), h. 37
[4]Ibid, h. 69
[5]M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 37
[6]Abdullah Karim, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, op.cit.
[7]M. Mizan Asrori dan Iltizam Syamsuddin, Mustholah Hadits, (Surabaya: Al-Ihsan, tt), h.
[8]Abdullah Karim, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,op.cit., h. 70
[9]Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits,Cet. 7,  (Bandung: Al-Ma’arif, 1991), h. 
[10]M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, op. cit., h. 38
[11]Abdullah Karim, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, op. cit., h. 71
[12]Ibid  
[13]Mahmud Ali Fabbad, Metodologi Penetapan Kesahehan Hadis, (Bandung: Pustka Setia, 1998), h. 97
[14] Abdullah Karim, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,loc. cit.
[15]Ibid, h. 72
[16]Ibid  
[17]Ibid  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar