Minggu, 23 November 2014

ADOPSI



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Keinginan mengembangkan keturunan adalah naluri setiap manusia. Untuk  kepentingan itu manusia perlu melakukan pernikahan. Dari pernikahan tersebut terjalinlah sebuah ikatan suami isteri yang pada gilirannya terbentuk sebuah keluarga berikut keturunannya berupa anak-anak. Dengan demikian kehadiran anak tidak hanya dipandang sebagai konsekuensi adanya hubungan biologis antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, tetapi lebih dari itu, juga merupakan keinginan yang sudah melembaga sebagai naluri setiap manusia. Oleh karenanya, rasanya kurang lengkaplah sebuah keluarga tanpa kehadiran seorang anak. Bahkan, dalam kasus tertentu tanpa kehadiran seorang anak dianggap sebagai aib yang menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami istri. Akan tetapi, karena berbagai hal atau alasan tertentu keinginan memperoleh anak tidak dapat tercapai. Dalam keadaan demikian berbagai perasaan dan pikiran akan timbul dan pada tataran tertentu tidak jarang perasaan dan pikiran tersebut berubah menjadi kecemasan. Kecemasan tersebut, selanjutnya diekspresikan oleh salah satu pihak atau kedua pihak, suami istri, dalam bentuk tindakan-tindakan tertentu. Salah satu tindakan suami istri, ketika keturunan berupa anak yang didambakan tidak diperoleh secara natural adalah dengan cara mengambil alih anak orang lain. Selanjutnya, anak tersebut dimasukkan ke dalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut. Cara memperoleh anak dengan cara ini, dalam istilah hukum Perdata Barat lazim disebut sebagai adopsi yang dalam tulisan ini disebut penulis sebut sebagai pengangkatan anak.
Pengangkatan anak yang ada di Indonesia sekarang, memang telah dimulai sejak lama. Dalam masyarakat yang memiliki adat tertentu, telah lama dijumpai praktek pengangkatan anak ini. Hanya saja, motivasi dan cara serta akibat pengangkatan anak tersebut berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lain.






B.     Rumusan Masalah

Tulisan berikut, dimaksudkan untuk membahas seputar pengangkatan anak dengan mencari jawaban atas rumusan masalah sebagai sebagai berikut :
1.      Apa pengertian adopsi dan pengangkatan anak ?
2.      Bagaimana tata cara mengadopsi anak ?
3.      Apa saja syarat pengangkatan anak ?
4.      Bagaimana pandangan Hukum Barat, Hukum Adat, dan Hukum Islam terhadap adopsi ?
5.      Apa akibat hukum pengangkatan anak ?
6.      Apa saja aturan hukum yang berkaitan dengan pengangkatan anak ?























BAB II
PEMBAHASAN

  1. Adopsi dan Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut Adopsi. Dalam kamus hukum kata adopsi yang bersasal dari bahasa latin adoption diberi arti pengangkatan anak sebagai anak sendiri.
Adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan/ keluarga.
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
Secara terminologi para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi antara lain:
Dalam kamus umum bahasa indonesia dijumpai arti kata anak angkat yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.
Dalam ensiklopedia umum disebutkan Adopsi, suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilakukan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat adopsi yang demikian itu ialah bahwa anak yang di adopsi kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi itu calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.
Selanjutnya dapat dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma, SH. : anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum setempat, dikarenakan dengan tujuan untuk kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
Sedangkan pengangkatan (adopsi) tidak di kenal dalam kitab undang-undang hukum perdata tetapi hanya dikenal dalam Stbl. 1917 no. 129 yo. 1924 no. 557. Menurut peraturan tersebut, pengangkatan anak atau adopsi adalah pengangkatan seorang anak laki-laki sebagai anak oleh seorang laki-laki yang telah beristri atau telah pernah beristri, yang tidak mempunyai keturunan laki-laki. Jadi disini hanya anak laki-laki yang dapat di angkat ( tetapi menurut perkembangan yurisprudensi sekarang ini, anak perempuan pun boleh diangkat sebagai anak oleh seorang ibu yang tidak mempunyai anak.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengasuhan adalah proses, perbuatan, atau cara mengasuh. pengasuhan sering disebut pula sebagai child-rearing yaitu pengalaman, keterampilan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai orangtua dalam mendidik dan merawat anak. Pengasuhan atau disebut juga parenting adalah proses menumbuhkan dan mendidik anak dan kelahiran anak hingga memasuki usia dewasa.atau biasa disebut juga dengan melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
Adopsi anak adalah salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum dikaruniai anak. Kehadiran anak adopsi diharapkan dapat mengisi hari-hari sepi pasangan suami istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang menjadikan anak adopsi sebagai “pancingan” agar kelak mereka memiliki keturunan kandung mereka sendiri. Apapun alasannya, saat anda dan pasangan memutuskan akan mengadopsi anak hendaknya didasari dengan niat baik dan keikhlasan serta rasa kasih sayang yang tulus untuk merawat si anak. dalam perkembangan kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum pula dalam pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang berbunyi: “Pengangkatan anak menurut adat kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.
Dalam pelaksanaan pengangkatan anak ternyata masih terdapat adanya ketentuan hukumnya yang masih belum seragam. Ketentuan hukum mengenai pengangkatan anak tersebar ke dalam beberapa peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Keadaan yang demikian tentu menimbulkan permasalahan diantaranya mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak terutama sekali bagi anak yang diangkat. Dalam perkembangan kemudian, setelah diundangkannya Undang-Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak pada tanggal 23 Juli 1979 maka diharapkan pelaksanaan pengangkatan anak diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak yang diangkat. Meskipun sampai saat ini masih terdapat beragam peraturan yang mengatur mengenai pengangkatan anak, sehingga di dalam pelaksanaannya timbul permasalahan-permasalah dan hambatan-hambatan walaupun tujuan akhir pelaksanaan pengangkatan anak adalah mewujudkan kesejahteraan anak.
Sampai saat ini belum ada peraturan khusus dan tersendiri mengenai pengangkatan anak. Karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengatur mengenai pengangkatan anak ini, sedangkan dalam kenyataannya pengangkatan anak ini banyak terjadi, oleh karenanya pengaturannya kemudian diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yang merupakan bagian dari keseluruhan aturan yang ada dalam Staatsblad tersebut dan khusus berlaku untuk masyarakat Tionghoa.
Karena sebagian besar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut berlaku bagi masyarakat Tionghoa. Namun pengaturan di dalam Staatsblad ini secara prinsip hanya berdasarkan pada hubungan kekeluargaan yang hanya menarik garis keturunan dari pihak bapak, sehingga di dalam aturannya hanya memperbolehkan pengangkatan anak bagi anak laki-laki. Sedangkan pengangkatan anak perempuan adalah tidak sah. Sejalan dengan perkembangan jaman dan budaya yang berkembang dalam masyarakat, akhirnya pengangkatan anak bagi anak perempuan diperbolehkan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 907/1963/P tanggal 29 Mei 1963 juncto nomor 588/1963/G tanggal 17 Oktober 1963. Sekarang ini pengaturan mengenai pengangkatan anak diatur sebagian dalam beberapa peraturan. Diantaranya adalah Undang-undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yaitu diatur dalam pasal 39, 40 dan pasal 41. Dalam pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya. Dengan demikian pengaturan mengenai pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad Tahun 1917 Nomor 127 dan peraturan lain yang berkaitan dengan pengangkatan anak dinyatakan tidak berlaku apabila bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut. Pengaturan serta syarat-syarat mengenai Pengangkatan Anak lebih lanjut diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan anak dan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984.[1]



B.     Tata Cara Mengadopsi
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
C.    Syarat-syarat
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melaksanakan pengangkatan anak adalah:
1.      Seorang laki-laki yang sudah atau pernah menikah, tetapi tidak mempunyai anak laki-laki.
2.      Suami istri bersama-sama.
3.      Seorang wanita yang telah menjadi janda, dengan ketentuan tidak ada larangan untuk melakukan pengangkatan anak oleh almarhum suaminya dalam wasiat yang ditinggalkannya dan ia tidak telah kawin lagi.
Selain syarat-syarat tersebut di atas maka diperlukan pula kata sepakat (persetujuan) dari orang-orang yang bersangkutan:
1)      Apabila yang diangkat itu seorang anak sah, maka ada kata sepakat dari kedua orang tuanya.
2)      Jika yang diangkat itu seorang anak diluar kawin, tetapi diakui oleh kedua orang tuanya, maka diperlukan persetujuan dari kedua orang tua tersebut.
3)      Bagi anak yang telah berumur 15 tahun, kata sepakat diperlukan juga dari anak yang bersangkutan, apakah anak yang akan di angkat itu bersedia atau tidak.
4)      Bagi seorang wanita janda yang akan melakukan pengangkatan anak, maka diperlukan kata sepakat dari para saudara laki-laki yang telah dewasa dan bapak mendiang suaminya.
Apabila mereka tidak ada atau tidak berkediaman di Indonesia, cukup kata sepakat dari dua orang tua diantara keluarga sedarah laki-laki yang terdekat dari pihak bapak si suami yang telah meninggal dunia itu sampai dengan derajat ke empat, yang telah dewasa dan bertempat tinggal di Indonesia.
Disamping itu perbedaan umur antara anak yang akan di angkat dengan ayah angkatny, sekurang-kurangnya 18 tahun dan dengan ibunya sekurang-kurangnya 15 tahun.[2]

Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata /BW
Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), kita tidak menemukan satu kesatuan yang mengatur masalah pengangkatan anak. Hanya mengenai pengakuan terhadap anak-anak luar nikah mengenai pengakuan terhadap anak-anak luar nikah dalam Buku 1BW bab XII bagian ketiga. Kita tidak menemukan satu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat ini, yang ada hanyalah ketentuan-ketentuan tentang pengakuan anak diluar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam buku 1BW bab XII bagian ketiga, pasal 280 sampai 289, tentang pengakuan terhadap anak-anak luar kawin. Ketentuan ini boleh dikatakan tidak ada sama sekali hubungan denagn masalah adopsi ini. Oleh karena kitab undang-undang Hukum perdata tidak mengenal hal pengangkatan anak ini.[3]
D.    Adopsi Menurut Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Barat.
Dalam hal ini akan dikemukan prinsip anak angkat menurut Hukum Islam, Hukum Adat dan KUHPerdata Belanda.
a.     Menurut Hukum Islam
Islam telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.
Tabanni secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah anaknya. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak.
Oleh karena itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mampu, agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya. Di Indonesia, peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang turut memerhatikan aspek ini (Republika.Co.Id, Jakarta). Pasal 171 huruf h KHI menyebutkan :
Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.
MUI mengharapkan supaya adopsi dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri.
Para ulama di Tanah Air telah memfatwakan bahwa pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing, selain bertentangan dengan UUD 1945 pasal 34, juga merendahkan martabat bangsa. Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa tentang Adopsi. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan bahwa "Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah."
Sebagai dasar hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW :
"Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya”
Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nasab, mahram maupun hak waris. Kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak lama sudah memfatwakan tentang adopsi. Pada salah satu butir pertimbangannya, para ulama memandang, bahwa Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan). Hanya saja, MUI mengingatkan ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam. Banyak dalil yang mendasarinya. Seperti surat al-Ahzab ayat 4:
"Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar."
Begitu pula surat al-Ahzab ayat 5:
"Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil dihadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan maulamaula (hamba sahaya yang di merdekakan".
Surat al-Ahzab ayat 40 kembali menegaskan : "Muhammad itu sekalikali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantaramu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”.
Anak angkat dalam arti memelihara, mendidik dan mengasuh seseorang anak orang lain adalah sangat dianjurkan dalam islam. Tetapi penamaan anak angkat tidak menjadikan seseorang menjadi mempunyai hubungan dengan seseorang lain seperti hubungan yang terdapat dalam hubungan darah. Oleh karena itu , penamaan dan penyebutan anak angkat tidak diakui dalam hukum Islam untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, karena prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau arham. Hubungan antara anak angkat dengan orang yang mengangkatnya bukanlah hubungan anak sulbi. Anak sulbi asalnya anak shulbi artinya ialah anak kandung yang berasal dari sumsum tulang sulbi atau tulang punggung kamu.
Jadi dalam hukum islam pada prinsipnya anak angkat itu tidak dilarang sepanjang hal itu menyangkut memelihara, mendidik dan mengasuhnya akan tetapi anak angkat itu tidak dikenal bila dihubungkan atau dikaitkan dengan kedudukan hukumnya dalam hal ini apabila menjadi ahli waris atau memperoleh kewarisan.
b.    Menurut Hukum Adat
Menurut catatan Ter Haar, sebagaimana dikutip oleh J. Satrio, pengangkatan anak di dalam Hukum Adat bukan merupakan sesuatu lembaga yang asing. Lembaga ini dikenal luas hampir di seluruh Indonesia. Alasan yang menjadi pertimbangan pengangkatan anak juga bermacam-macam. Ada yang karena untuk kepentingan pemeliharaan di hari tua dan ada yang kerana kasihan terhadap anak yatim piatu. Bahkan, ada kalanya pengangkatan anak dilakukan dengan pertimbangan yang mirip dengan adopsi yang diatur oleh ketentuan adopsi ( Stb Nomor 129 tahun 1917 ) yaitu untuk menghindari punahnya suatu keluarga. Tentang siapa yang boleh mengangkat anak tidak ada ketentuannya. Akan tetapi menurut R. Soeroso, dijumpai ketentuan minimal berbeda 15 tahun. Demikian juga tentang siapa yang boleh diadopsi juga tidak ada ketentuan harus anak laki-atau anak perempuan. Batas usia anak yang dapat diangkat juga berbeda antara dearah hukum yang satu dengan daerah hukum yang lain.
Hal ini wajar mengingat perbedaan-perbedaan adat di suatu tempat juga memungkinkan terjadinya perbedaan nilai-nilai hukum mereka.
Dalam hukum adat justru anak angkat atau pengangkatan anak ini diakuli dan harus dilakukan secara jelas, tegas dan terang atau tunai, yaitu dilakukan dengan upacara-upacara adat. Hal ini berkaitan dengan hubungan atau kedudukan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkat serta orang tua kandungnya.
Dalam masyarakat hukum adat , dengan pengangkatan anak, maka putuslah hubungan keluarga antara anak tersebut dengan orang tua kandungnya. Dalam hal pewarisan anak tersebut mewaris dari orang tua angkatnya seperti halnya anak kandung. Jadi kedudukan hukum antara anak angkat dengan anak kandung sama dalam hal pewarisan.

c.     Menurut KUHPerdata Barat
Yang dimaksud Hukum Barat di sini adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut adopsi. Dasar hukum adopsi adalah Staatsblad Tahun 1917 nomor 129. Oleh karena itu pembicaraan mengenai adopsi Hukum Perdata Barat hanya bersumber dari Staatsblad tersebut, sebab keberadaannya merupakan satu-satunya pelengkap bagi BW yang di dalamnya memang tidak mengenal masalah adopsi.
Sudah barang tentu hal ini perlu ditegaskan agar jangan sampai salah pengertian, bahwa Hukum Barat itu hanya KUH Perdata/BW. J. Satrio menulis dalam bukunya HukumKeluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang, bahwa tidak adanya ketentuan tentang adopsi dalam BW karena ketentuan tersebut memang sengaja dikeluarkan. Ada yang mengatakan, lembaga itu memang hendak dihapus. Menurut pikiran yang berlaku pada masa pembentukan BW tiang dasar mesyarakat Eropa adalah keluarga, yang diwujudkan dalam hubungan suami istri, orang tua anak seperti yang diletakkan dalam BW. Dengan dasar pikiran seperti itu, maka adopsi merupakan hubungan semu yang hanya meniru hubungan orang tua anak. Dengan mengutip pernyataan Ali Afandi dia mengemukakan, dalam catatan kaki, latar belakang tidak dikenalnya adopsi atau pengangkatan anak luar kawin. Yang perlu dicatat adalah bahwa adopsi yang diatur dalam ketentuan Staatsblad tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat Tionghoa.
Ketentuan yang berkaitan dengan pengangkatan anak versi Hukum Barat ini diatur dalam Staatsblad Pasal 5 s.d. 15 antara lain:
a.    Suami istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya.
b.    Seorang janda (cerai mati ) yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak
dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiat. (Pasal 5 )
c.    Yang boleh diangkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak dan tidak sedang dalam status siangkat oleh orang lain. (Pasal 6)
d.   Usia yang diangkat harus 18 tahun lebih muda dari suami dan 15 tahun lebih muda dari istri. (Pasal 7 ayat 1);
e.    Adopsi harus dilakukan atas kata sepakat;
f.     Pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris. (Pasal 10)
g.    Pengangkatan terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan cara tidak membuat akta otentik batal demi hukum. ( Pasal 15 ayat Di samping itu adopsi, atas tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga dapat dinyatakan batal.
h.    Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak. ( Pasal 15 ayat 1 ). Pasal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338 ayat KUH Perdata (BW ) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian yang bersangkutan.
i.      Secara yuridis formal, motif tidak ada ketentuannya,. Akantetapi, secara culturalmotif pengangkatan anak dalam system adat Tionghoaagar dapat meneruskan keturunan, agar dapat menerima abu leluhur, dan sebagai pancingan agar dapat memperoleh keturunan laki-laki dalam BW, yaitu karena BW memandang suaitu perkawinan sebagai bentuk hidup bersama, bukan untuk mengadakan keturunan.
KUHPerdata Belanda yang lama tidak mengenal lembaga adopsi sehingga KUHPerdata Indonesia pun tidak mengenalnya meskipun Code Civil Prancis mengenal adopsi. Hal ini disebabkan karena pandangan orang-orang Belanda yang menganggap anak hanya mereka yang berhubungan darah semata-mata. Akan tetapi , perkembangan selanjutnya adalah bahwa adopsi sudah dikenal dalam KUH Perdata Belanda yang baru yaitu sejak tahun 1956.[4]
E.     Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
a.    Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.


  1. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.[5]
Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat.
1.      Menurut Hukum Adat
Adapun akibat hukum pengangkatan anak menurut adat, menurut J.Satrio, bahwa anak itu mempunyai kedudukan seperti anak yang lahir dari perkawinan suami istri yang mengangkatnya dan hubungannya dengan keluarga asal menjadi putus. Penerimaan anak angkat sebagai keluarga adoptan datang tidak hanya dari keluarga adoptan, tetapi juga dari masyarakat lingkungannya.
Tentang akibat hukum pengangkatan anak menurut Hukum Adat ini R. Soeroso, S.H. menulis :
“ Dengan demikian, khususnya masalah pengangkatan anak atau adopsi mempunyai sifat-sifat yang sama antara berbagai daerah hukum, meskipun karakteristik masing-masing daerah tertentu mewarnai kebhinekaan cultural suku bangsa Indonesia”. Bertitik tolak dari yang dikemukakan R. Soeroso tersebut dapat dikemukakan, bahwa sebagai akibat kebhinekaan kultural,
Perbedaan akibat hukum adopsi menurut Hukum Adat pun juga dimungkinkan terjadi. Dengan kalimat lain, akibat hukum adopsi yang menurut J. Satrio melepas hubungan anak angkat dengan orang tua asalnya tersebut, belum tentu terjadi di semua di daerah hukum Adat. Masih dimungkinkan terjadi akibat hukum yang tidak menyebabkan terputusnya hubungan antara anak angkat dengan orang tua asalnya. Perkiraan seperti ini didukung oleh yang ditulis oleh R. Soeroso, bahwa di Bali perbuatan pengangkatan anak melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya dengan orang tuanya sendiri dengan memasukkan anak itu ke dalam keluarga pihak bapak angkat. Sedangkan, di Jawa pengangkatan anak tidak menyebabkan putusnya hubungan pertalian keluarga. Di samping itu, menurut penulis, di daerah-daerah hukum yang komunitas masyarakatnya muslim yang taat tentu tidak membenarkan pengangkatan anak yang menyebabkan putusnya hubungan nasab dengan orang tua asalnya. Sebab, akibat hukum seperti itu jelas dilarang dalam ajaran Islam.
2.      Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya.[6]
3.      Menurut Hukum Barat
Akibat Hukum pengangkatan anak tersebut, antara lain :
1)      Pasal 12 memberikan ketentuan, bahwa adopsi menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan yang orang tua yang mengangkatnya. Termasuk, jika yang mengangkat anak tersebut seorang janda, anak angkat ( adoptandus) tersebut harus dianggap dari hasil perkawinan dengan almarhum suaminya.
2)      Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal:
- Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam bidang perkawinan;
- Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan;
- Mengenai perhitungan biaya perkaradan penyanderaan;
- Mengenai pembuktian dengan saksi,
- Menganai saksi dalam pembuatan akta autentik.
3) Oleh karena akibat hukum adopsi menyebabkan hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi hapus, maka hal ini berakibat juga pada hukum waris, yaitu: Anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya sekarang mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya. Ketentuan-ketentuan asal mengenai adopsi tersebut kini memang tidak berlakusecara konsisten. Seiring dengan perkembanagan zaman pelaksanaannyapun mengalami perubahan.

Menurut J. Satrio setidaknya ada dua perubahan mendasar dari penerapan ketentuan adopsi tersebut, yaitu :
a.         Keberlakuan Staatsblad nomor 129 tahun 1917 kini tidak lagi berlaku bagi golongan Tionghoa;
b.         Anak yang diangkat tidak hanya anak laki-laki saja tetapi juga anak perempuan.

F.     Aturan Hukum Yang Berkaitan Dengan Pengangkatan Anak.
Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu bahwa adopsi merupakan istilah yang dikenal dari lembaga hukum yang berasal dari hukum perdata Barat (Belanda ). Oleh karena sampai saat ini, Indonesia sebagian hukum perdatanya juga masih memberlakukan Hukum Perdata Barat, dalam hal ini Burgelijk wet Boek ( BW ), maka ketentuan-ketentuan menganai pengangkatan anak tersebut, dapat dilihat pada ketentuan-ketantuan yang ada dalam BW. Akan tetapi kenyataannya BW sendiri tidak mengatur mengenai adopsi sebagaimana yang terjadi dalam praktek. Sebagaimana dikemukakan oleh R. Soeroso, adopsi yang diatur dalam BW hanya adopsi atau pengangkatan anak luar kawin, yaitu sebagaimana termuat pada Buku I Bab XII Bagian III pasal 280 sampai dengan 290. Sedangkan, pengangkatan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di masyarakat dan dunia peradilan sekarang, tidak hanya terbatas pada pengangkatan anak luar kawin, tetapi sudah mencakup pengangkatan anak dalam arti luas. Dengan demikian, sebenarnya, BW  tidak mengatur pengangkatan anak sebagaimana dikenal sekarang. Hanya saja kemudian, untuk memenuhi tuntutan masyarakat, oleh Pemerintah Belanda dikeluarkan Stb. 1917 Nomor 129 yang memberikan ketantuan mengenai adopsi bagi masyarakat Tionghoa, dalam hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 15. Di dalamnya diatur tentang siapa yang boleh mengangkat, siapa yang boleh diangkat sebagai anak angkat, dan tatacara pengangkatan anak, termasuk di dalamnya syarat-syarat pengangkatan anak.
Menurut R Soeroso Staatsblad tersebut merupakan satu-satunya pelengkap dari BW. Oleh karena itu, segala persoalan menyangkut adopsi versi Barat semata-mata harus beranjak dari Staatsblaad tersebut. Melihat praktek permohonan pengangkatan anak di peradilan dari hari ke hari semakin marak, terlepas dari motivasi yang melatarbelakangi pemohon, dan aturan yang mengatur mengenai hal itu masih dirasa kurang, maka Mahkamah Agung memandang perlu untuk memberikan tambahan aturan yang bersifat teknis mengenai pengangkatan anak tersebut. Kepedulian Mahkamah Agung tersebut diwujudkan dengan mengeluarkan aturan dalam bentuk Surat Edaran.[7]

BAB III
PENUTUP


Simpulan :

Adopsi anak adalah salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum dikaruniai anak. Kehadiran anak adopsi diharapkan dapat mengisi hari-hari sepi pasangan suami istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang menjadikan anak adopsi sebagai “pancingan” agar kelak mereka memiliki keturunan kandung mereka sendiri.
Dalam hukum islam pada prinsipnya anak angkat itu tidak dilarang sepanjang hal itu menyangkut memelihara, mendidik dan mengasuhnya akan tetapi anak angkat itu tidak dikenal bila dihubungkan atau dikaitkan dengan kedudukan hukumnya dalam hal ini apabila menjadi ahli waris atau memperoleh kewarisan.
Dalam masyarakat hukum adat , dengan pengangkatan anak, maka putuslah hubungan keluarga antara anak tersebut dengan orang tua kandungnya. Dalam hal pewarisan anak tersebut mewaris dari orang tua angkatnya seperti halnya anak kandung. Jadi kedudukan hukum antara anak angkat dengan anak kandung sama dalam hal pewarisan.
KUHPerdata Belanda yang lama tidak mengenal lembaga adopsi sehingga KUHPerdata Indonesia pun tidak mengenalnya meskipun Code Civil Prancis mengenal adopsi. Hal ini disebabkan karena pandangan orang-orang Belanda yang menganggap anak hanya mereka yang berhubungan darah semata-mata. Akan tetapi , perkembangan selanjutnya adalah bahwa adopsi sudah dikenal dalam KUH Perdata Belanda yang baru yaitu sejak tahun 1956.
Akibat Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris. Dalam perwalian, Sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya. Dalam waris Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.

DAFTAR PUSTAKA


Buku :
Zaini Muderis, Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Artikel :


[1] Zaini Muderis, Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) h. 125.

[3] Patricia L.R, http://patricia-seohyerim.blogspot.com/2011/05/pengangkatan-anak-menurut-berbagai.html,  diakses pada hari Rabu,  28 Mei 2014, jam 16: 00 Wita.
[4] http://pena-rifai.blogspot.com/2010/11/perbandingan-hukum.html, diakses pada hari Rabu 28 Mei 2014, jam 16 : 00 wita.
[5] http://fadilanhur30.blogspot.com/2013/01/adopsi-anak-dan-bayi-tabung.html, di akses pada hari Selasa, 27 Mei 2014, jam 06 : 00 Wita.
[6] http://www.lbh-apik.or.id/adopsi.htm, diakses pada hari Kamis, 29 Mei 2014, jam 10: 00 Wita.
[7]Asmu’i Syarkowi, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Lembaga%20Pengangkatan%20Anak%20-%20asmui.pdf, diakses pada hari Kamis, 29 Mei 2014, pada jam 12 : 00 Wita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar